Rabu, 05 Januari 2011

Awas, Miras Bisa Jadi Penyebab KDRT


Minuman keras (miras) yang berlebihan merupakan salah satu pemicu utama munculnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Papua. Hal itu dikatakan aktivis perempuan Papua yang juga staf Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Papua (LP3AP) Anita Waibro, di Jayapura, Minggu (14/6).

Anita mengungkapkan dari laporan masyarakat dan kasus yang ditangani LP3AP sebagai lembaga Advokasi perempuan dan anak, sebagian besar kasus KDRT yang terjadi disebabkan suami dalam keadaan mabuk miras kemudian menyakiti pasangannya. "Misalnya jika ada 10 laporan KDRT, maka sekitar tujuh sampai delapan kasus yang penyebabnya adalah karena pengaruh miras," katanya.

Anita menambahkan, melihat dari tingkat pengonsumsian miras di Papua khususnya di Kota Jayapura yang semakin tinggi, dikhawatirkan angka KDRT akan terus meningkat. "Kami selalu meminta kepada pemerintah daerah untuk membatasi peredaran miras, karena punya dampak yang besar bagi orang yang mengonsumsi maupun lingkungan sekitarnya," ujarnya.

Faktor pemicu KDRT lainnya yakni ekonomi keluarga yang kurang sejahtera. Apabila tidak ada saling pengertian antara pasangan, maka berpeluang menimbulkan emosi yang berujung pada KDRT. "Apalagi ditambah dengan rendahnya tingkat pendidikan dari pasangan itu sendiri," terang Anita.

Sebenarnya pemerintah sendiri sudah mengeluarkan aturan hukum yang bisa menjerat pelaku KDRT, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun, kendala yang terbesar dalam menuntaskan suatu masalah KDRT melalui jalur hukum, biasanya korban KDRT mencabut delik aduan yang telah dilaporkan pada pihak kepolisian, dengan alasan akan diselesaikan secara kekeluargaan.

Harus diingat KDRT sebenarnya tidak hanya kekerasan terhadap fisik tetapi juga psikis, yang cenderung menimpa perempuan dan anak, hanya saja kondisi budaya patriarki menganggap hal tersebut sebagai masalah biasa," tambah Anita.

Menghadapi Suami Yang Penguasa

Kali ini saya ingin membahas tentang bagaimana bagi kaum wanita dalam menghadapi suami penguasa, hal ini dikarenakan dalam sebuah pernikahan, kadang perempuan dihadapkan dengan suami yang suka mengatur, otoriter, dan ingin menang sendiri. Bagaimana menghadapi kondisi seperti ini ?

Harus disadari bahwa pernikahan adalah bertemunya dua anak manusia yang awalnya tidak saling kenal, berbeda karakter, berbeda latar belakang, bahkan berbeda pendapatan. Nah, dalam pernikahan semua perbedaan diupayakan untuk menyatu dalam satu tujuan yang sakinah, mawaddah, warahmah (tenang dan saling kasih sayang).

Bagaimana kalau kebetulan suami kita termasuk laki-laki yang berkarakter suka mengatur, sok berkuasa dan otoriter ? Apa yang harus kita lakukan ? Haruskah kita membatalkan pernikahan ?

Menurut beberapa ahli ada beberapa faktor penyebab mengapa suami ingin menjadi penguasa dalam keluarga. “Banyak faktor yang membuat suami ingin berkuasa atau menang sendiri. Itu harus kita ketahui agar rumah tangga kita bisa terselamatkan.

Faktor Ekonomi

Istri yang tidak bekerja sangat tergantung keberadaan suami, karena itu istri merasa takut untuk menolak keinginan suami. Tingkat ekonomi yang berbeda inilah bisa menjadi sumber mengapa suami menjadi penguasa dalam rumah tangga. “Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa suami yang berkarier dan perempuan tidak bekerja memiliki power yang lebih tinggi dari pada keduanya bekerja.

Peran Gender

Dalam masyarakat, sejak awal laki-laki memang diperankan sebagai penguasai terhadap perempuan. Dukungan masyarakat menjadi legitimasi bagi suami untuk berkuasa. “Bahwa perempuan identik dengan feminin dan laki-laki adalah maskulin.

Budaya Patriaki

Budaya yang mengamsumsikan bahwa laki-laki adalah sebagai kepala rumah tangga, mengilhami suami untuk tidak memberikan kesempetan pada perempuan untuk mengambil keputusan. “Jadi dalam hal ini, suami seolah segalanya bagi keluarga dan di pundaknya semia beban keluarga dipikul. Semua keputusan yang berkaitan dengan keluarga, di yang menentukan.

Dua Keputusan

Ada dua hal yang harus dipertimbangkan ketika menerima keputusan suami. Pertama, jika keputusan suamii memberikan manfaat dan bersifat positif, tidak ada salahnya untuk menerima. Kedua, jika keptusan suami berdampak negatif bagi keluarga, lebih baik tidak dilaksanakan namun dengan cara yang baik sehingga tidak menyinggung perasaan suami. Tipe suami penguasa (husband dominant type) dapat dilihat dari pendapatnya yang ingin diakui. Bagi suami yang penguasa, apa pun pendapat yang berkaitan dengan keputusan yang diambil cenderung dianggap paling benar dan merasa beranggung jawab (responsibility). Suami merasa bahwa tanggung jawab keluarga adalah tanggung jawabnya, maka semua keputusan dia yang memutuskan. Padahal tanggung jawab keluarga bukan hanya milik suami, namun semua anggota keluarga.

Tidak Melawan

Dalam menghadapi suami yang memiliki karakter penguasa dalam rumah tangga, istri tidak perlu mengadakan perlawanan. Istri harus menerima. Dan menerima bukan berarti kalah. Namun ini dilakukan untuk menghindari konflik dalam rumah tangga yang dapat berujung pada keutuhan keluarga. Kemudian sebisa mungkin menghindari pertengkaran. Jika keputusan itu tidak terlalu penting, sebaiknya istri dapat mengikuti irama suami. Namun bila tidak diupayakan untuk melakukan tawaran ide. Selanjutnya tentukan waktu yang tepat untuk mengajak suami berdiskusi bersama, kemukakan bahwa anda keberatan dengan sikapnya.

Kemiskinan menjadi penyebab utama KDRT


KEMISKINAN menjadi penyebab utama Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Selain kebutuhan hidup atau motif ekonomi, KDRT j uga disebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) Emmy Rachmawati.

Motif ekonomi dan kebutuhan hidup menjadi ha! yang paling menonjol sebagai penyebab banyaknya terjadi kekerasan dalam rumah tangga, baik terhadap perempuan, anak dan suami. Selain itu, faktor ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang bukan hanya disebabkan perselingkuhan, tetapi bisa ketidakcocokkan atau kesalah fahaman antara suami dan istri, juga menjadi faktor penyebab yang kedua.

Trend saat ini kasus KDRT bukan meningkat, tetapi masyarakat semakin terbuka untuk melaporkan kasusnya yang semula dianggap suatu aib rumah tangga." kata Emmy usai menghadiri pelantikan pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Banten di Serang, kemarin. Saat ini masyarakat khususnya perempuan semakin terbuka untuk melaporkan berbagai kasus yang dialaminya dalam rumah tangga, baik berupa kekerasan fisik, psikis maupun kekerasan lain yang dialami perempuan maupun anak.Dengan semakin banyaknya orang yang melaporkan tersebut, ada anggapan bahwa kasus KDRT meningkat.

Saat ini perempuan semakin berani melaporkan kasusnya, karena itu dianggap melanggar hak azasi manusia yang merugikan kaum perempuan," katanya tanpa menyebutkan berapa kasus KDRT yang terjadi di Indonesia saat ini.

Kelua P2TP2A Provinsi Banten Ade Rossi Haerunisa mengatakan, saat ini ada kecenderungan kasus KDRT di Banten semakin meningkat, hal tersebut sesuai dengan angka kasus KDRT yang ditangani P2TP2A Provinsi Banten dari Tahun 2008 hingga 2010 se-banyak 59 kasus.

Dari 59 kasus yang ditangani P2TP2A Provinsi Banten, terdiri dari 33 kasus KDRT. 11 kasus perdagangan manusia (trafficking) dan 15 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur."Sebagian besar kasus tersebut bisa diselesaikan oleh P2TP2A Banten. Untuk Itu. diperlukan adanya kerja keras dan penguatan SDM pengurus, seiring dengan meningkatnya kasus tersebut," katanya.

Dalam kesempatan tersebut, P2TP2A Provinsi Banten Juga meluncurkan program Telepon-Sahabat Anak fresa) 129. sebagai salah satu media komunikasi dan konsultasi anak untuk menyampaikan berbagai keluhan yang terkait dengan perlindungan anak dan mengatasi permasalahan kekerasan dalam rumah tangga.

Dengan Tesa tersebut, anak dibawah umur 18 tahun bisa menyampaikan konsultasi yang terkait dengan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga atau pengaduan terhadap orang tuanya melalui telepon bebas pulsa ke nomor 129. Masih memprihatinkan Sebelumnya Antam memberitakan kehidupan sebagian perempuan di Nusa Tenggara Barat masih memprihatinkan terutama di wilayah pedesaan karena mereka hanya mengetahui kewajiban dan kurang memahami hak-haknya terutama yang berstatus sebagai istri.

Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Tim Penggerak PKK Provinsi NTB Ny Fauzan Djufri di Mataram, kemarin mengatakan selama ini sebagian perempuan di daerah ini memiliki kedudukan yang lemah dalam keluarga. "Mereka hanya bisa pasrah atas perlakuan suami yang tidak jarang istri menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)," katanya

Selain itu tidak sedikit perempuan yang dijadikan "modal" oleh suaminya, mereka rela disuruh bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) kemudian hasil Jerih payahnya menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi digunakan untuk membeli sepeda motor bahkan dipakai kawin lagi/

Ketika pulang dari Arab Saudi ada yang diceraikan oleh suaminya setelah uang hasil jerih payahnya menjadi PRT dihabiskan untuk berfoya-foya oleh suaminya. Kendati mendapat perkuan yang tidak adil mereka hanya bisa pasrah," katanya. Menurut Fauzah ini disebabkan sebagian perempuan di NTB belum memahami haknya sebagai istri, karena itu mereka perlu diberikan pemahaman agar bisa bersikap tegas Jika mendapat perlakuan tidak adil dari suami.

Ia mengatakan dalam upaya meningkatkan kualitas SDM para perempuan di NTB. TP PKK terus memberikan advokasi antara lain memberikan pelatihan di sejumlah desa binaan. ( Agus Sutondo Media Center )

Kekerasan Rumah Tangga Dipicu Masalah Ekonomi



Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap dipicu oleh masalah utama, yaitu masalah ekonomi”. Demikian disimpulkan Veronica E. Larasati Prayitno, ketua “Rumah Kita”, sebuah lembaga sosial yang khusus menangani kekerasan dalam rumah tangga pada wanita dan anak-anak.

Ada sekitar 300-an korban yang ditangani dan memberikan kesan yang sangat memprihatinkan, dari berbagai agama dan status sosial. Khusus bagi anak muda yang akan berumahtangga, Veronika berpesan: “Jangan memaksakan keadaan untuk menikah, jika belum siap secara total. Pernikahan tidak mengurangi setiap persoalan, namun menambah persoalan. Hanya mereka yang siap dalam kedewasaan dan bertanggung jawablah yang dapat menghadapi kesulitan tersebut”.

Dengan penuh keprihatinan yang mendalam, Veronika berharap jangan sampai ada anak muda yang harus ke Rumah Kita, karena mengalami kekerasan. Veronika dan teman-temannya melakukan pelayanan ini tanpa dibayar. Sebaliknya mereka berusaha dari kantong masing-masing mengumpulkan dana, daya, dan upaya untuk mendukung pelayanan Rumah Kita. Fasilitas pelayanan yang memadai, program kegiatan yang bermutu, serta hati yang mencintai para korban, menghadirkan Rumah Kita, menjadi berkat Tuhan bagi semua orang.

Rumah Kita bekerjasama dengan masyarakat melalui hotline, rujukan dari: LSM, Kepolisian, LBH, panti sosial, kegiatan sosial gereja, serta lembaga sosial. Hal ini menjadikan Rumah Kita berfungsi maksimal.

Ada begitu banyak korban yang harus ditangani setiap harinya, membuktikan angka kekerasan terus bertambah. Latar belakang lingkungan serta pendidikan mempengaruhi semua ini,” tutur Veronika yang ditemui di kantor DPP Wanita Katolik-Kayu Jati Jakarta, kemarin. “Hanya bagi mereka yang menyadari kehidupan sebagai pemberian Tuhan-lah, yang dapat mengisi kehidupan dengan penuh tanggung jawab. Tuhan pula yang menghadirkan setiap orang untuk melayani di Rumah Kita dalam ketulusan. Setiap kebutuhan tetap terpenuhi, dengan campur tangan-NYA yang tidak berakhir,” tambah Veronika.

Kekerasan RT membuktikan, kurangnya kesadaran dan tanggung jawab untuk mencintai kehidupan, sebagai anugerah-NYA. Selamat membangun kehidupan keluarga dengan kasih dan tanggung jawab. Tak lupa, selamat berbagi dalam kepedulian, kepada dunia sekelilingmu yang membutuhkan pertolongan.