"Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka digoda oleh syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka menyadari kesalahannya,” (QS. Al A’raaf; 201).
Diantara kalimat yang paling sering kita dengar dan baca diberbagai media massa, “Mari kita hidupkan hati nurani”. Himbauan ini semakin bergema saat bangsa dan Negara menuju kea rah yang lebih buruk. Krisis demi krisis terus berlanjut. Institusi-institusi kehidupan menjadi macet dan mandul. Hukum jauh dari nilai keadilan karena sekedar berperan sebagai teknologi undang-undang yang tidak mampu membawa bangsa dan Negara ini kearah kehidupan yang lebih teratur, tertib, aman dan tentram.
Ekonomi pun makin tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ia hanya menjadi eksploitasi bisnis demi keuntungan pribadi dan kelompok. Kemiskinan dan kesejahteraan hanya menjadi bahasan seminar dan diskusi yang tidak melahirkan sikap keberpihakan pada rakyat yang menderita.
Politik sangat jauh dari aspirasi rakyat, bahkan sebaliknya politik adalah teknologi memanipulasi. Lembaga-lembaga politik, seperti DPR dan MPR sekarang tak lebih dari karikatur demokrasi yang lebih sibuk dengan urusan internal daripada mendengar aspirasi rakyat.
Tak dapat dipungkiri, semua krisis dan masalah ini bermuara pada matinya “hati nurani kita” sebagai anggota masyarakat, bangsa dan negara. Karena itu, semua merasa berkewajiban untuk menghimbau dan mengajak untuk menghidupkan hati nurani. Namun masalahnya, menghidupkan hati nurani tidak seperti menghidupkan lampu yang cukup dengan menekan saklar atau menghidupkan lilin yang cukup dengan korek api.
Kenyataannya, walaupun sudah sangat banyak yang menghimbau dan mengajak untuk menghidupkan hati nurani, mulai dari rakyat kecil yang menghimbau dengan berbagai deritanya, mahasiswa dengan gerakan moralnya sampai para politisi dan presiden yang menghimbau dengan bahasa pidato yang mungkin sangat indah didengar namun jauh dari kesungguhan. Realitanya, belum ada perubahan yang signifikan dalam kehidupan kita. Mungkin masalahnya, ketidaktahuan kita tentang apa nurani itu sebenarnya?
Dalam terminology Arab, nurani disebut dhamir. Istilah dhamir ini dipahami sebagai perasaan kejiwaan yang berperan aktif dalam diri sebagai pengontrol (provost), yang memerintahkan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan. Perasaan yang akan melahirkan rasa senang ketika diri dalam kebaikan dan sebaliknya akan melahirkan rasa sedih dan tertekan apabila diri dalam kemungkaran dan kejelekan.
Ketika diri berbohong terhadap orang lain misalnya, bisa jadi manusia tidak pernah tahu kebohongan kita, tetapi nurani (dhamir) kita yang hidup akan melahirkan perasaan bersalah dan tertekan karena dosa tersebut. Rasulullah SAW mendefinisikan dosa sebagai sesuatu yang akan menimbulkan perasaan tidak nyaman dan tertekan dalam hati. Di samping itu, pelakunya tidak menyukai orang lain tahu perbuatan tersebut. Artinya, nurani kita akan menolak saat kita akan melakukan dosa, sekecil apapun.
Nurani merupakan standar sah dalam diri kita untuk menilai kebenaran dan keotentikan hidup kita. Rasulullah SAW bersabda, “Mintalah fatwa dari nurani, kebenaran adalah apabila nurani dan jiwamu tenang terhadapnya sementara dosa apabila hatimu gelisah” (HR Ahmad). Ini tentunya terjadi apabila nurani (dhamir) kita hidup dan sehat.
Dhamir berada pada ruang spiritual, kematian nurani merupakan krisis spiritual. Beberapa ahli psikologi menyebut fenomena ini dengan beberapa istilah, seperti spiritual alienation (keengganan spiritual), spiritual illness (penyakit hati), spiritual emergency (krisis spiritual). Krisis spiritual berlanjut pada krisis eksistensi diri sebagaimana disebut Carl Gustav Jung sebagai existensial illness (krisis eksistensi).
Semua ini bermuara pada semakin lemahnya kecenderungan dan kemampuan manusia dalam mengenal Tuhannya. Dalam bahasa sederhana, bisa dikatakan sebagai proses lemahnya iman kepada Tuhan.
Inilah sesungguhnya permasalahan kita semua yang telah melahirkan berbagai krisis sebagaimana diungkapkan EF Schumacher dalam bukunya A Guide for the Perplexed , bahwa akhir-akhir ini orang baru sadar, segala krisis- baik krisis ekonomi, bahan bakar, makanan, lingkungan, maupun krisis kesehatan- sebenarnya timbul dari krisis spiritual dan krisis pengenalan kita terhadap Tuhan.
Iman merupakan kata kunci dalam setiap permasalahan nurani dan spiritualitas. Karena iman bagi spiritualitas adalah ibarat air bagi tanaman. Sementara spiritualitas yang sehat dengan iman yang kuat dan benar akan menghidupkan nurani. Untuk itu, menghidupkan nurani terus dengan menghidupkan keimanan kepada Allah dalam diri.
Orang beriman adalah orang yang hidup hati nuraninya. Rasulullah SAW ketika ditanya, “Apa iman itu?” Beliau menjawab, “Apabila engkau merasa bersalah dengan perbuatan dosamu dan merasa senang dengan perbuatan baikmu, maka kamu seorang mukmin (beriman) “ (HR. Ahmad)
Jadi, imanlah yang menjadi sumber kepekaan nurani kita. Nurani yang hidup adalah nurani yang beriman kepada Allah. Yaitu iman kepada Allah sebagai ilah (Tuhan) yang disembah, ditaati, dipatuhi sekaligus ditakuti siksanya dan diharap surganya. Bukan sekedar mengimani bahwa Tuhan itu ada.
Iman yang seperti ini- yaitu patuh pada tuntunan Allah SWT dan Rasulullah SAW- akan menjadi pengontrol efektif bagi diri kita. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia menjadikan baginya pemberi nasehat dari jiwanya dan pengingat dari hatinya yang memerintahnya dan melarangnya” (HR Ahmad). Itulah nurani yang hidup dengan iman.
Iman akan tetap terjaga dalam hati dengan menghidupkan rasa muraqabatullah (perasaan selalu diawasi Allah). Sebuah rasa yang lahir dari keyakinan bahwa tidak ada satu pun di alam semesta ini yang luput dari ilmu Allah.
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dia-lah yang keenam.” (QS. Al Mujadalah;7).
Muraqabatullah ini selanjutnya akan efektif mengontrol perbuatan kita. Orang yang mempunyai nurani yang hidup dengan imannya bukanlah orang suci yang tidak pernah terbetik dalam hati niat salah atau jahat. Tetapi orang yang mempunyai pengontrol yang bisa menjauhkan dirinya dari kejatuhan dalam lembah dosa.
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau zalim, mereka ingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosanya dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa mereka sedang mereka mengetahui,” (QS. Ali Imraan;135).
Karena itu, ajakan menghidupkan nurani adalah himbauan untuk menghidupkan keimanan dalam hati dengan mendorong lahirnya muraqabatullah. Apabila seruan ini belum dapat kita realisasikan, kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah kita sudah beriman?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar