Dosa bagaikan tiupan angin ditanah yang berdebu ketika wajah terasa sejuk sejenak tanpa terasa nodanya telah melekat begitu berbekas. Kalau saja tidak ada cermin, seseorang tidak akan pernah mengira bahwa dirinya telah berubah.
Perjalan hidup memang penuh dengan debu, sediki tapi terus dan pasti. Butiran-butiran debu dosa yang semakin bertumpuk di dalam diri membuat kita lupa dengan diri kita sendiri. Permasalahannya sekarang, bagaimana dan seberapa pekanya hati kita menanggapinya. Karena barangkali mata kepekaan kita pun telah tertutup oleh butiran-butiran debu dosa yang mulai menggunung dalam diri kita. Seorang mukmin yang sholeh mengkin tak terpikir akan melakukan dosa besar, jangankan memikirkan dan melakukan, mendengar saja mereka akan langsung menggigil ketakutan, dan berkata nauzubillahi min dzalik.
Tetapi berbeda dengan dosa-dosa kecil, karena bergitu kecilnya dosa itu menjadi tidak terasa, terlebih ketika kita berada dalam lingkungan yang redup dari cahaya ilahi, maka dosa pun akan terasa biasa.
Rasulullah SAW bersabda:
“jauhilah dosa-dosa kecil karena jika ia terkumpul pada diri seseorang maka lambat laun akan menjadi biasa”
Rasulullah sudah mewanti-wanti kepada para sahabat, tabi’in dan seluruh umatnya agar berhati-hati dengan sebuah kebiasaan, karena sesuatu yang kita anggap ringan tetap mempunyai peran dalam pembentukan karakter dan hati kita.
Sekecil apapun dosa terlebih ketika kita merasa biasa dengannya, itu akan berpengaruh buruk dalam hati, pikiran dan tingkah laku seseorang.
Dan susahnya apabila sipelaku tidak menyadari, justu orang lain yang mengungkap dan menanggapi ketidaknormalan itu. Kita tidak tahu bahwa diri kita telah berubah karena kita tidak mempunyai cermin pribadi untuk melihat siapa diri kita, maka dari itulah bercermin, intropeksi diri, dan selalu bermuhasabah agar kita mengetahui siapa diri ini. Adapun dampak dari dosa yang sering kita anggap remeh adalah:
1. Melemahnya hati dan tekad
Kelemahan ini ketika tanpa sadar seseorang tidak lagi bergairah atau semangat melakukan ibadah-ibadah tambahan (sunah) semuanya tinggal yang wajibnya saja terkadang itu dilakukan dengan terpaksa. Nilai-nilai tambah ibadah menjadi lenyap begitu saja, tiba-tiba ia menjadi enggan untuk beristighfar. Sementara hasrat untuk melakukan kemaksiatan semakin besar dan membara didalam diri. Bagaimana kita akan membendung semuanya. Kalaupun itu sudah terjadi kembali mendekatkan diri kepadap Allah dengan hati yang ikhlas.
2. Seseorang akan terus melakukan perbuatan dosa dan maksiat sehingga ia akan menganggap remeh dosa yang ia lakukan padahal dosa yang dianggap remeh itu besar disisi Allah.
Seorang sahabat rasul yaitu Ibnu Mas’ud pernah membandingkan antara orang yang mukmin yang selalu kebaikan dengan orang fajir yang selalu melakukan kejahatan dalam menanggapi dan menilai sebuah dosa. Beliau r.a berkata sesungguhnya seorang mukmin ketika melihat dosanya seakan-akan ia ditepi gunung, ia takut gunung itu akan menimpanya. Sedang orang yang fajir tatkala melihat dosanya seperti memandang seekor lalat kemudian dibiarkan terbang begitu saja.
3. Dosa maksiat akan melenyapkan rasa malu.
Padahal malu merupakan tonggak kehidupan hati, pokok dari segala kebaikan. Jika rasa malu hilang maka lenyaplah kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda:
“malu adalah kebaikan seluruhnya” (HR. Muslim)
4. Sulitnya menyerap ilmu keislaman
Kenapa? Karena dosa mengeruhkan cahaya hati padahal ilmu keislaman adalah cahaya hidayah Allah Swt, yang dapat diserap dengan kejernihan hati dan jiwa. Jadi seseorang penuntut ilmu (tholabul ‘ilmi) dituntut untuk “membersihkan hati” sebelum jauh melangkah untuk mempelajari keilmuwan Islam.
Sebagaimana ketika Imam syafi’i mengadukan buruknya hafalan kepada Waqi’.
“aku mengadukan buruknya hafalanku kepada waqi’ beliau memintaku untuk membersihkan diri dari segala dosa dan maksiat. Beliaupun mengajarkan bahwa ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan menembus kepada hati seorang pendosa.
Ada suatu dampak lagi yang sangat memprihatinkan seorang yang hatinya berserakan debu dosa, mereka enggan bertemu sapa dengan sesama mukmin. Karena magnit cinta dan kasih sayang sesama mukmin mulai redup dan melemah. Sementara kecendrungan bergaul dengan lingkungan tanpa nilai yang tiada cahaya Allah, justru menguat dan menggebu-gebu, dan terus berontak untuk bebas. Perjalanan hidup memang bukan jalan lurus tanpa terpaan debu. Makin cepat kita berjalan semakin keras pula terpaan debu menerpa. Berhati-hatilah karena sekecil apapun debu. Ia bisa mengurangi kemampuan melihat sehingga tidak lagi jelas mana yang nikmat dan mana yang maksiat.
Oleh; Afry Santoso
Mahasiswa STAI Luqman Al Hakim Surabay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar