Senin, 21 Juni 2010

Awal Penyebaran Fitnah Besar (Hadis al-Ifki)


Al-Qur’an diturunkn kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur. Lamanya sekitar 23 tahun. Tepatnya 22 tahun, dua bulan, dan 22 hari, yang dimualai 17 Ramadhan hingga 9 Dzulhijjah Tahun 9 Hijriyah. Dengan waktu yan demikin panjang itu, hampir setiap hari Raulullah SAW mendaptkan wahyu dari Allah SWT.

Namun, ternyata ada beberapa waktu Nabi SAW tidak menerima wahyu sam sekali. Salah satuny adalah saat disebarkannya berita bohong oleh salah seorang munafik yang ingin merusak hubungan rumah tangga Rasulullah SAW dengan istrinya, Aisya RA. Lamanya hamper satu bulan penuh. Itulah yang di kenal dalam sejarah Islam dengan Hadis al-Ifki, yaitu penyebaran berita bohong atau inah. Berita bohon itu berupa dituduhnya Ummul Mukminin, Aisya RA, sebagai orang yang melakukn perselingkuhan.
Peristiwa kebohongan yang dilakukan oleh orang-orang munafik itu, diabadikn Allah dalam al-Qur’an pada surah An-Nur [24] ayat 11-26.

“sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu adalah buruk bagi kamu, bahkan ia adlah baik bagi kamu. Tiap-tiap mereka mendapatkan balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan, siapa diantara mereka yang mengambil bagian yan terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS An-Nuur [4]:11).

Awal mullah berita bohon ini, terjadi saat berakhirnay perang antara kaum Muslimin dan bani Mushtaliq pada Sya’ban tahun 5 Hijriyah. Peperangan ini, didikuti oleh sejumlah kaum munafik. Isri Rasulullah, Aisya, turut pula ikut dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan oleh istri-istri Nabi. 

Dalam perjalanan pulang saat kembali dari peperangan, rombongn kaum Muslimin berhenti di suatu tempat. Menurut Sulaiman bin Abdullah Al-Utsaim dalam bukunya Salwa al-Hazim, Qashash Waqi’iyyah Mu’atstsirah (Obat penear hari yang sedih), peristiwa itu terjadi di kota Madinah. Ditegaskan oleh Muhammad Husain Haikal, peristiwa itu erjadi tepatnya di daerah Muraisi, nasih di dalam wilayah Madinah.

Juga ditrangkan oleh Syauqi Abu Khalil dalam bukinya, Athlas Hadits, sebagaimana yang dikutip dari Ar-Raudh al-Mi’thar dan Mu’jm al-buladan, al-Muraisi adalah nama sungai yang terdapat di daerah Qudaid sampai as-Sahil. Di daerah inilah terjadi perang antara kaum Muslimin dan bani Mushtaliq dari Khuza’ah sekitar tahun 6 Hijriyah. Al-Muraisi berjarak dengan pantai sejauh 80 km.

Dalam hadist yang diriwayatkan olah Aisya RA oleh Imam Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu Syubaid az-Zuhri, Said al-Musaiyid, Alqamah bin Waqqash, Ubaidullah bin Abdulah bin Utbah bn Mas’ud tentang peristiwa tersebut, dikatakan setelah usai peperangan itu, semua rombongan kaum Muslimin bermaksud kembali ke Madinah.

Saat itulah, Aisya RA menyadari bahwa kalungnya yang terbuat dari merjan Azhfar telah putus (hilang). Maka Aisya Ra yang baisany ditandu, segera kembali ke tendanya untuk mencari kalung tersebut. Sekian lama ia mencari kalung tersebut. Sementara, orang-orang yang membwa tandu Aisya tidak menyadari bahwa tuannya tidak berada di dalamnya. Karena itulah, Aisya Ra tetinggal dari rombongan.

Maka, Aisya Ra hanya pasrah. Ia berharap, ada rombongan kaum Muslimin yang kemabali. Terlalu lama menunggu, Aisya akhirnya terserang kantuk hingga akhirnya tertidur. Tanpa diduga, di saat itulah muncul salah seorang rombongan yang bernama Shafwan bin Mu’athal as-Sulami adz-Azakwani. Shafwan bertugas sebagai anggota pasukan yang paling belakang.

Melihat ada yang tertinggal, Shafwan segera menjenguknya. Namun, setelah mengetahui yang tertinggal itu adalah Ummul Mukminin, Aisya RA, Shafwan pun langsung ber-istirja (mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi rajiun), dan membuat Aisya terbangun dan reflek memakai cadarnya. Shafwan pun segera memberikan tunggangnnya (unta) kepada Aisya, sedangkan Shafwan sendiri berjalan kaki sambil menunun unta yang ditunggangi oleh Aisya. Mereka berdua berhasil menyusul rombongan kaum Muslimin yang sedang beristirahat.

Orang-orang yan menyaksikan kedatangan Ummul Mukminin besama Shafwan, muncullah desas-desus terhadap hubungan kedunya. Mereka membicarakannya menurut prasangka masing-masing. Desas-desus itu kemudian terus menyebar hingga akhirnya menjadi fitnah atau berita bohong terhadapap diri Aisya Ra, hingga seluruh rombongan tiba di Madinah. Fitnah ini akhirnya menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum Muslimin. Si penyebar berita itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Kisah selengkapnya dapat di lihat dalam sirah Ibnu Hasyim 2/297, Tarikh At-Thabari 2/611, Tafsir At-Thabari 18/93 dll.

Karena tuduhan perselingkuhan tersebut, samapai-samapai Rasulullah sendiri menunjukakan perubahan sikap atas diri Aisya.
Diceritakan Aisya, karena peristiwa itu dirinya akhirnya jatuh sakit. “Saat itu yang membuatkan bingung ketika aku sakit, aku tidak melihat kelembutan dari Nabi SAW seperti biasa aku lihat dari beliau di kala aku sakit. Beliau hanya masuk sebentar dan mengucapkan salam, lalu bertanya; “Bagaimana keadaanmu, kemudian pergi." (lihat karya Ibnu Atsir, An-Nihayah fi Gharib al-Hadist.)

Kondisi fitnah itu terus menyebar hingga mencapai satu bulan lamanya. Dan, selama itu pula, tak ada wahyu yang diterima oleh Nabi SAW. Samapai kemudian, Allah SWT mengabarkan berita gembira kepada Rasullah yang menyatakan bahwa Aisya RA terbebas dari segala tuduhan perselingkuhan dan fitnah itu. Penegasan Allah itu terangkum dalam surah An-Nur [4]: 11-6. dengan turunnya ayat tersebut, terbebaslah Aisya RA dari tuduhan keji itu. Wallahu A’lam.

Hikamh yang dapat di petik dari peristiwa di atas, sebagai berikut;
1.peristiwa itu mengajar kepada umat Islam tidak cepat menuduh seseorng dengan perbutan buruk. Hendaklah mengecek dulu kebenarannya dan dmendatankan beberpa orang saksi yang dapat di dipercaya, aar tidak menimbulkan fitnah. Sebab, fitnh itu lebih kejam dari pada pembunuhan (QS. Al-Baqarah: 191).
2.bijak dalam menyelesaikan permasalahan. Hal ini terlihat dari cara Rasulallah mengatasi masalah yang telah dieksploitasi oleh Abdullah bib Ubay yang menuduh Aisya Ra telah selingkuh dengan Shafwa bin Mu’athal. Dalam mengatasi masalah ini, Nabi brusaha mencari kebenarannya dari sumbernya dan senantiasa sabar dalam mengahadapi musibah serta tidak terburu-buru dalam memutuskan suatu perkara.
3.diperlambatnya turunnya wahyu hinnga satu bulan. Menunjukkan bahwa Nabi adalah manusia biasa sama seperti yang lain, yang juga bisa tertimpa musibah dn fitnah. Namun Nabi SAW diberi keistimewaan oleh Allah SWT, berupa kesabaran yang teguh.

Rasulullah Saw bersabda, “Saya tidak mengetahui Aisya kecuali orang yang baik-baik.”
4.dari peristiwa ini, telah disyariatkannya hukuman dera (hudud) bagi orang yang melakukan fitnah atau menuduh orang lain berbuat zina dengan 80 kali cambukan, sebagaiman dijelaskan dalam al-Qur’an, yang artinya, “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka derahlah mereka (yang menuduh) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nur: 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar