Minggu, 22 September 2013

Melihat Kebaikan di Segala Hal

PENDAHULUAN

Jika Anda dapat berhenti sejenak kemudian memikirkan tentang kehidupan Anda, Anda akan menyadari bahwa semua ingatan Anda walaupun mungkin terdiri atas beberapa dekade, akan berarti sebagai perbincangan beberapa menit saja. Apa yang pernah Anda pikir penting, atau yang benar-benar Anda kejar, atau yang coba Anda hindari, kini semuanya adalah bagian dari masa lalu. Apa pun yang mengingatkan kita pada pikiran-pikiran dan perasaan ini, itu hanyalah kenangan.

Bagaimanapun juga, dalam pandangan Allah, setiap kata yang Anda ucapkan dan setiap pikiran yang terlintas dalam benak Anda telah diketahui-Nya. Setelah mati, di mana masing-masing manusia telah ditetapkan waktunya, rekaman setiap tindakan kita akan dibeberkan di hadapan kita. Yang akan terlihat dari kehidupan kita hanyalah terdiri atas detik demi detik, tanpa terlewat satu bagian kecil pun. Dalam pandangan Allah, tak ada rincian hidup kita yang terlupakan.

Jika dalam setiap aspek kehidupan, Anda menghabiskan hidup dengan berserah diri kepada kekuasaan mutlak Allah, menerima tujuan penciptaan-Nya, kemudian menyadari kebaikan dalam segala hal, serta sadar akan kesempurnaan dalam setiap rencana Ilahiah yang ditetapkan oleh Allah, Anda dapat memastikan bahwa hasil akhir Anda akan baik.

Hal itu karena di saat kematiannya, manusia dihadapkan pada dua pilihan. Jika yang satu telah dijalankan dengan nilai-nilai yang dinyatakan oleh Allah, ia akan mendapatkan keselamatan abadi. Jika tidak, ia kan menderita kesengsaraan tak berujung. Akhlaq yang Allah meminta kita untuk melaksanakannya adalah berupa rasa syukur terhadap-Nya dalam setiap hal, tak peduli bagaimanapun kondisi dan keadaannya. Allah menginginkan agar kita meyakini bahwa pasti ada kebaikan dalam segala hal yang menimpa kita dengan menyadari bahwa semua itu berasal dari Allah.

Menerima apa pun yang menimpa kita dan meyakini bahwa ada kebaikan dalam setiap kejadian walaupun tampaknya merugikan, bahkan malah bersyukur untuk semua itu, bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Ia adalah kebenaran yang disadari melalui pemahaman akan kebesaran dan keagungan Allah. Seseorang hanya perlu mengenal Tuhan-Nya—Pencipta alam semesta—dan peristiwa apa pun yang terjadi di dalamnya serta bersyukur atas semua itu.

Sejak pertama kali seseorang membuka matanya di dunia, Allahlah yang menetapkan setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Allahlah Yang Mahakuasa, Mahabijaksana, dan Mahaadil. Semua diciptakan Allah dalam rangka memenuhi rencana-Nya dan untuk tujuan Ilahiah, sebagaimana difirmankan Allah dalam sebuah ayat Al-Qur`an,

إِنَّا كُلَّ شَىۡءٍ خَلَقۡنَـٰهُ بِقَدَرٍ۬
“Sesungguhnya, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (al-Qamar: 49)

Dalam cahaya kekuasaan dan kehebatan Allah yang tiada batasnya, manusia hanyalah makhluk yang lemah. Tanpa kemurahan dan kasih Allah, ia tidak akan bisa bertahan. Melalui kemampuannya untuk memahami dan mempertimbangkan, manusia dapat memahami sesuatu hanya seluas apa yang diizinkan Penciptanya. Adalah sebuah keharusan bagi kita untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan maksud-maksud Ilahiah yang telah ditetapkan-Nya. Apa pun yang kita alami dalam hidup ini, kita harus tetap ingat bahwa Allah adalah Tuhan yang menguasai seluruh alam semesta dan Dia mengetahui, melihat, dan mendengar apa yang tidak dapat kita ketahui, lihat, dan dengar; dan bahwa Allah mengetahui sesuatu yang akan terjadi dan tidak kita sadari. Demikianlah, kita menyadari bahwa Allahlah yang menyebabkan terjadinya setiap peristiwa sesuai dengan tujuan ilmiah, yaitu untuk kebaikan kita.

Dengan meyakini hal ini, kita akan memiliki pandangan yang lebih baik. Dengannya, kita merasa bersyukur atas segala yang terjadi pada diri kita. Dengan kata lain, seseorang akan berupaya untuk melihat kebaikan dalam segala sesuatu yang didengarnya, dilihatnya, dan menimpanya. Dalam setiap fase kehidupannya, ia akan memahami kehidupan ini secara benar dan tepat. Ia dapat membuat keputusan yang benar antara apa-apa yang ditawarkan kepadanya. Dalam Al`Qur`an digambarkan,

إِنَّا هَدَيۡنَـٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرً۬ا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya, Kami telah menunjukkan jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insaan: 3)

Kehendak manusia dan kehendak Allah mencapai hasil akhir yang mulia, yakni kehidupan abadi di surga. 

Sumber : http://warnawarnikata.blogspot.com/2010/07/melihat-kebaikan-di-segala-hal-bagian.html

Melihat Kebaikan dalam Segala Peristiwa

Sebenarnya, melihat kebaikan dalam segala hal merupakan ungkapan yang biasa. Dalam kehidupan kita sehari-hari, orang sering mengatakan, “Pasti ada kebaikan (hikmah) di balik kejadian ini,” atau, “Ini merupakan berkah dari Allah.”

Biasanya, banyak orang mengucapkan ungkapan-ungkapan tersebut tanpa memahami arti sebenarnya atau semata-mata hanya mengikuti kebiasaan masyarakat yang tidak ada maknanya. Kebanyakan mereka gagal memahami arti yang sebenarnya dari ungkapan-ungkapan tersebut atau bagaimana pemahaman itu dipraktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pada dasarnya, kebanyakan manusia tidak sadar bahwa ungkapan-ungkapan tersebut tidak sekadar untuk diucapkan, tetapi mengandung pengertian yang penting dalam kejadian sehari-hari.

Kenyataannya, kemampuan melihat kebaikan dalam setiap kejadian, apa pun kondisinya—baik yang menyenangkan maupun tidak—merupakan kualitas moral yang penting, yang timbul dari keyakinan yang tulus akan Allah, dan pendekatan tentang kehidupan yang disebabkan oleh keimanan. Pada akhirnya, pemahaman akan kebenaran ini menjadi sangat penting dalam menuntun seseorang tidak hanya untuk mencapai keberkahan hidup di dunia dan akhirat, tetapi juga juga untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang tak akan berakhir.

Tanda pemahaman yang benar akan arti iman adalah tidak adanya kekecewaan akan apa pun yang terjadi dalam kehidupan ini. Sebaliknya, jika seseorang gagal melihat kebaikan dalam setiap peristiwa yang terjadi dan terperangkap dalam ketakutan, kekhawatiran, keputusasaan, kesedihan, dan sentimentalisme, ini menunjukkan kurangnya kemurnian iman. Kebingungan ini harus segera dienyahkan dan kesenangan yang berasal dari keyakinan yang teguh harus diterima sebagai bagian hidup yang penting. Orang yang beriman mengetahui bahwa peristiwa yang pada awalnya terlihat tidak menyenangkan, termasuk hal-hal yang disebabkan oleh tindakannya yang salah, pada akhirnya akan bermanfaat baginya. Jika ia menyebutnya sebagai “kemalangan”, “kesialan”, atau “seandainya”, ini hanyalah untuk menarik pelajaran dari sebuah pengalaman. Dengan kata lain, orang yang beriman mengetahui bahwa ada kebaikan dalam apa pun yang terjadi. Ia belajar dari kesalahannya dan mencari cara untuk memperbaikinya. Bagaimanapun juga, jika ia jatuh dalam kesalahan yang sama, ia ingat bahwa semuanya memiliki maksud tertentu dan mudah saja memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam kesempatan mendatang. Bahkan jika hal yang sama terjadi puluhan kali lagi, seorang muslim harus ingat bahwa pada akhirnya peristiwa tersebut adalah untuk kebaikan dan menjadi hak Allah yang kekal. Kebenaran ini juga dinyatakan secara panjang lebar oleh Rasulullah,

“Aku mengagumi seorang mukmin karena selalu ada kebaikan dalam setiap urusannya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur (kepada Allah) sehingga di dalamnya ada kebaikan. Jika ditimpa musibah, ia berserah diri (dan menjalankannya dengan sabar) bahwa di dalamnya ada kebaikan pula.” (HR Muslim)

Hanya dalam kesadaran bahwa Allah menciptakan segalanya untuk tujuan yang baik sajalah hati seseorang akan menemukan kedamaian. Adalah sebuah keberkahan yang besar bagi orang-orang beriman bila ia memiliki pemahaman akan kenyataan ini. Seseorang yang jauh dari Islam akan menderita dalam kesengsaraan yang berkelanjutan. Ia terus-menerus hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran. Di sisi lain, orang beriman menyadari dan menghargai kenyataan bahwa ada tujuan-tujuan Ilahiah di balik ciptaan dan kehendak Allah.

Karena itu, adalah memalukan bagi orang beriman bila ia ragu-ragu dan ketakutan terus-menerus karena selalu mengharapkan kebaikan dan kejahatan. Ketidaktahuan terhadap kebenaran yang jelas dan sederhana, kekurangtelitian, dan kemalasan hanya akan mengakibatkan kesengsaraan di dunia dan di akhirat. Kita harus ingat bahwa takdir yang ditentukan Allah adalah benar-benar sempurna. Jika seseorang menyadari adanya kebaikan dalam setiap hal, dia hanya akan menemukan karunia dan maksud Ilahiah yang tersembunyi di dalam semua kejadian rumit yang saling berhubungan. Walau ia mungkin memiliki banyak hal yang mesti diperhatikannya setiap hari, seseorang yang memiliki iman yang kuat—yang dituntun oleh kearifan dan hati nurani—tidak akan membiarkan dirinya dihasut oleh tipu muslihat setan. Tak peduli bagaimanapun, kapan pun, atau di mana pun peristiwa itu terjadi, ia tidak akan pernah lupa bahwa pasti ada kebaikan di baliknya. Walaupun ia mungkin tidak segera menemukan kebaikan tersebut, apa yang benar-benar penting baginya adalah agar ia menyadari adanya tujuan akhir dari Allah.

Berkaitan dengan sifat terburu-buru manusia, mereka kadang-kadang tidak cukup sabar untuk melihat kebaikan yang ada di dalam peristiwa yang menimpa mereka. Sebaliknya, mereka menjadi lebih agresif dan nekat dalam mengejar sesuatu walaupun hal tersebut sangat bertentangan dengan kepentingan yang lebih baik. Di dalam Al-Qur`an, hal ini disebutkan,

وَيَدۡعُ ٱلۡإِنسَـٰنُ بِٱلشَّرِّ دُعَآءَهُ ۥ بِٱلۡخَيۡرِ‌ۖ وَكَانَ ٱلۡإِنسَـٰنُ عَجُولاً۬
Dan manusia mendo’a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (al-Israa`: 11)

Meski demikian, seorang hamba harus berusaha melihat kebaikan dan maksud Ilahiah dalam setiap kejadian yang disodorkan Allah di depan mereka, bukannya memaksa untuk diperbudak oleh apa yang menurutnya menyenangkan dan tidak sabar untuk mendapatkan hal itu.

Walau seseorang berusaha untuk mendapatkan status finansial yang lebih baik, perubahan itu mungkin tidak pernah terwujud. Tidaklah benar jika seseorang menganggap suatu kondisi itu merugikan. Tentu saja seseorang boleh berdo’a kepada Allah untuk mendapatkan kekayaan jika kekayaan itu digunakan di jalan Allah. Bagaimanapun juga, ia harus mengetahui bahwa jika keinginannya itu tidak dikabulkan Allah, itu disebabkan alasan tertentu. Mungkin saja bertambahnya kekayaan sebelum matangnya kualitas spiritual seseorang dapat mengubahnya menjadi orang yang gampang diperdaya oleh setan. Banyak alasan Ilahiah lainnya—di antaranya tidak langsung disadari atau hanya akan terlihat di akhirat—dapat mendasari terjadinya sebuah peristiwa. Seorang usahawan, misalnya, bisa saja tertinggal sebuah pertemuan yang akan menjadi pijakan penting dalam kariernya. Akan tetapi, jika saja pergi ke pertemuan itu, ia bisa tertimpa kecelakaan lalu lintas, atau jika pertemuannya diadakan di kota lain, pesawat yang ditumpanginya bisa saja jatuh.

Tak ada seorang pun yang kebal terhadap segala peristiwa. Biasakanlah untuk melihat bahwa pada akhirnya ada suatu kebaikan dalam sebuah peristiwa yang pada awalnya terlihat merugikan. Meski demikian, seseorang perlu ingat bahwa ia tidak akan selalu dapat mengetahui maksud sebuah peristiwa adalah sesuatu yang merugikan. Ini karena, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, kita tidak selalu beruntung dapat melihat sisi positif yang muncul. Mungkin juga Allah hanya akan menunjukkan maksud keilahian-Nya di akhirat nanti. Karena alasan itulah, yang harus dilakukan oleh orang yang ingin menyerahkannya pada takdir Allah dan memberikan kepercayaannya kepada Allah adalah menerima setiap kejadian itu—apa pun namanya—dengan keinginan untuk mencari tahu bahwa pastilah ada kebaikan di dalamnya dan kemudian menerimanya dengan senang hati.

Harus disebutkan juga bahwa melihat kebaikan dalam segala hal bukan berarti mengabaikan kenyataan dari peristiwa-peristiwa tersebut dan berpura-pura bahwa hal itu tidak pernah terjadi, atau mungkin menjadi sangat idealis. Sebaliknya, orang beriman bertanggung jawab untuk mengambil tidakan yang tepat dan mencoba semua cara yang dianggap perlu untuk memecahkan masalah. Kepasrahan orang yang beriman tidak boleh dicampuradukkan dengan cara orang lain, yang karena pemahaman yang tidak sempurna tentang hal ini, mereka tetap saja tidak acuh terhadap apa pun yang terjadi di sekitar mereka dan optimis tetapi tidak realistis. Mereka tidak bisa membuat keputusan yang rasional ataupun menjalankan keputusan tersebut. Ini dikarenakan yang ada pada mereka adalah optimistis yang melenakan dan kekanak-kanakan, bukan mencari pemecahan masalah. Sebagai contoh, ketika seseorang didiagnosis menderita penyakit yang serius, keadaannya saat itu mungkin paling parah sampai pada titik fatal yang diabaikannya selama masa pengobatan. Contoh lainnya, jika seseorang tidak menyadari pentingnya mengamankan harta bendanya, walau ia pernah mengalami pencurian, besar kemungkinan akan menjadi korban lagi dari kejadian serupa itu.

Pastilah cara-cara tersebut jauh dari sikap menaruh kepercayaan kepada Allah dan dari “melihat kebaikan dalam segala hal”. Pada hakikatnya, sikap tersebut berarti ceroboh. Kebalikannya, orang yang beriman harus berusaha mengendalikan situasi sepenuhnya. Pada dasarnya, sikap yang menuntun diri mereka ini adalah suatu bentuk “penghambaan”, karena ketika mereka terlibat dalam situasi tersebut, pikiran mereka dikuasai oleh ingatan akan kenyataan bahwa Allahlah yang membuat peristiwa itu terjadi. Di dalam Al-Qur`an, Allah menghubungkan kisah para nabi dan orang beriman sebagai contoh bagi mereka yang sadar akan hal ini. Inilah yang harus diteladani oleh seorang mukmin. Sebagai contoh, sikap yang merupakan respons Nabi Huud terhadap kaumnya menunjukkan penyerahan total dan rasa percayanya yang kokoh kepada Allah, walaupun ia mendapatkan perlakuan yang buruk.


قَالُواْ يَـٰهُودُ مَا جِئۡتَنَا بِبَيِّنَةٍ۬ وَمَا نَحۡنُ بِتَارِكِىٓ ءَالِهَتِنَا عَن قَوۡلِكَ وَمَا نَحۡنُ لَكَ بِمُؤۡمِنِينَ (٥٣) إِن نَّقُولُ إِلَّا ٱعۡتَرَٮٰكَ بَعۡضُ ءَالِهَتِنَا بِسُوٓءٍ۬‌ۗ قَالَ إِنِّىٓ أُشۡہِدُ ٱللَّهَ وَٱشۡہَدُوٓاْ أَنِّى بَرِىٓءٌ۬ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ (٥٤) مِن دُونِهِۦ‌ۖ فَكِيدُونِى جَمِيعً۬ا ثُمَّ لَا تُنظِرُونِ (٥٥) إِنِّى تَوَكَّلۡتُ عَلَى ٱللَّهِ رَبِّى وَرَبِّكُم‌ۚ مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلَّا هُوَ ءَاخِذُۢ بِنَاصِيَتِہَآ‌ۚ إِنَّ رَبِّى عَلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬ (٥٦) فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَقَدۡ أَبۡلَغۡتُكُم مَّآ أُرۡسِلۡتُ بِهِۦۤ إِلَيۡكُمۡ‌ۚ وَيَسۡتَخۡلِفُ رَبِّى قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ وَلَا تَضُرُّونَهُ ۥ شَيۡـًٔا‌ۚ إِنَّ رَبِّى عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ حَفِيظٌ۬ (٥٧

“Kaum ‘Aad berkata, ‘Wahai Huud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan memercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.’ Huud menjawab, ‘Sesungguhnya, aku menjadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya, aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya, Tuhanku di atas jalan yang lurus.’ Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya, Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu.” (Huud: 53-57)

*** Secara umum, manusia cenderung memisahkan peristiwa yang terjadi dalam istilah “baik” dan “buruk”. Pemisahan tersebut sering bergantung pada kebiasaan atau tendensi peristiwa itu sendiri. Reaksi mereka terhadap peristiwa tersebut berubah-ubah tergantung pada kepelikan dan bentuk kejadian tersebut; bahkan apa yang akhirnya akan mereka rasakan dan alami biasanya ditentukan oleh kebiasaan sosial masyarakat.

Hampir semua orang memiliki sisa-sisa mimpi masa kecil, bahkan dalam hidup mereka selanjutnya, walaupun rencana-rencana ini tidak selalu terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan atau direncanakan. Kita selalu cenderung kepada kejadian-kejadian yang tidak diharapkan dalam hidup. Peristiwa tersebut dapat sekejap saja melemparkan hidup kita ke dalam kekacauan. Ketika seseorang berniat untuk menjalankan hidupnya dengan normal, ia mungkin berhadapan dengan rangkaian perubahan yang pada awalnya terlihat negatif. Seseorang yang sehat bisa dengan tiba-tiba terserang penyakit yang fatal atau kehilangan kemampuan fisik karena kecelakaan. Sekali lagi, seseorang yang kaya bisa saja kehilangan seluruh kekayaannya dengan tiba-tiba.

Hidup seperti menaiki roller-coaster. Reaksi orang berbeda-beda ketika menaikinya. Jika kejadian yang muncul menyenangkan, reaksi mereka baik-baik saja. Akan tetapi, ketika dihadapkan pada hal-hal yang tidak diharapkan, mereka cenderung kecewa, bahkan marah. Kemarahan mereka itu bisa memuncak, bergantung pada sejauh mana mereka berhubungan dengan peristiwa tersebut dan pencapaian mereka dalam masalah ini. Kecenderungan ini biasa terjadi dalam masyarakat yang tenggelam dalam kebodohan. Ada juga di antara mereka yang saat kecewa berkata, “Pasti ada kebaikan di dalamnya.” Bagaimanapun juga, kalimat yang diucapkan tanpa memahami arti sebenarnya hanya semata-mata kebiasaan masyarakat saja.

Masih ada sebagian orang yang memiliki keinginan untuk memikirkan maksud Ilahiah dalam setiap peristiwa, apakah yang mungkin terdapat dalam kejadian-kejadian yang sepele. Akan tetapi, ketika mereka dihadapkan pada peristiwa yang lebih besar, yang sangat mengganggu, tiba-tiba mereka melupakan niat tersebut. Sebagai contoh, seseorang mungkin tidak akan tertekan saat mesin mobilnya rusak tepat ketika ia harus berangkat ke kantor dan ia berusaha berprasangka baik terhadap kejadian tersebut. Akan tetapi, jika keterlambatannya itu membuat bosnya marah atau menjadi alasan hilangnya pekerjaan, ia lalu mencari-cari alasan untuk mengeluh. Dia mungkin akan bersikap sama jika kehilangan perhiasan atau jam mahal. Contoh-contoh ini menunjukkan kepada kita bahwa ada beberapa kejadian kecil yang menyebabkan orang bereaksi dengan wajar atau mereka mau berbaik sangka bahwa hal tersebut mengandung kebaikan. Akan tetapi, contoh-contoh lainnya yang tidak biasa dapat membuatnya mencari pembenaran atas keangkuhan dan kemarahan mereka.

Di sisi lain, sebagian orang hanya menghibur diri dengan berpikir demikian tanpa memiliki pegangan makna yang benar terhadap “melihat kebaikan dalam segala hal”. Dengan sikap demikian, mereka percaya bahwa hal tersebut dapat menjadi cara untuk menciptakan kenyamanan bagi mereka yang tengah tertimpa masalah. Misalnya yang terjadi pada anggota keluarga yang bisnisnya tengah berantakan atau seorang teman yang gagal dalam ujian. Bagaimanapun juga, jika kepentingan merekalah yang dipertaruhkan dan mereka terlihat tak sedikit pun memikirkan kebaikan apa yang ada di balik peristiwa tersebut, mereka telah berlaku bodoh.

Kegagalan untuk melihat kebaikan dalam peristiwa yang dialami seseorang muncul dari hilangnya keimanan seseorang. Kegagalannya untuk memahami bahwa Allahlah yang menakdirkan setiap kejadian dalam kehidupan seseorang, bahwa hidup di dunia ini tidak lain hanyalah ujian, inilah yang menghalangi dirinya untuk menyadari kebaikan apa pun dalam setiap peristiwa yang terjadi padanya.

Sumber : http://warnawarnikata.blogspot.com/2010/07/melihat-kebaikan-di-segala-hal-bagian_28.html

Bagaimana Melihat Kebaikan dalam Segala Hal yang Terjadi


Menyadari bahwa Allahlah yang Telah Menakdirkan Semua Hal dalam Setiap Detailnya

Kebanyakan orang merasa senang saat segala sesuatu terjadi sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi, orang beriman tidak boleh cenderung kepada perasaan seperti itu. Di dalam Al-Qur`an, Allah memberikan kabar gembira bahwa Dia telah menentukan setiap peristiwa demi kebaikan hamba-Nya dan hal tersebut tidaklah menimbulkan rasa sedih ataupun masalah bagi mereka yang benar-benar beriman.

Seseorang yang menyadari kebenaran ini di dalam hatinya akan merasa senang terhadap apa yang dihadapinya dan ia melihat karunia yang tersimpan di balik apa yang terjadi.

Banyak orang bahkan tidak ingin repot-repot berpikir bagaimana dan mengapa mereka ada di dunia ini. Walaupun kata hati akan menuntun mereka untuk menyadari bahwa keajaiban dunia dan penataannya yang sempurna ini memiliki pencipta, cinta yang luar biasa banyaknya yang dirasakan di dunia ini, keengganan mereka untuk melihat kebenaran, membawa mereka pada pengingkaran terhadap realitas keberadaan Allah. Mereka mengabaikan fakta bahwa setiap kejadian dalam hidupnya ditentukan sesuai dengan rencana dan tujuan tertentu; mereka malah menghubungkannya dengan ide yang sungguh-sungguh salah, yakni hanya sebatas kebetulan atau keberuntungan. Bagaimanapun juga, ini hanyalah sebuah pandangan yang menghalangi seseorang untuk melihat kebaikan dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi dan kemudian menarik pelajaran dari peristiwa tersebut.

Ada pula mereka yang sadar akan eksistensi Allah dan mengerti bahwa Dialah yang telah menciptakan seluruh alam. Mereka mengakui fakta bahwa Allahlah yang menurunkan hujan dan meninggikan matahari. Mereka menyadari bahwa tidak mungkin ada zat lain yang melakukan semua itu. Saat terjadi peristiwa dalam jenak kehidupan mereka—detail kecil yang membentuk bagian kesibukan sehari-hari—mereka tidak dapat berpikir bahwa mereka terlepas dari Allah. Meskipun demikian, Allahlah yang menakdirkan seorang pencuri memasuki rumah di malam hari, sebuah rintangan yang menyebabkan seseorang terjatuh, sebuah lahan subur untuk ditanami atau dibiarkan gersang, jual beli yang menguntungkan, bahkan panci yang gosong sekalipun. Setiap peristiwa terjadi dengan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas untuk menyelesaikan rencana-Nya yang agung. Sepercik lumpur yang mengotori celana kita, bocornya ban mobil, jerawat yang muncul, penyakit, atau kejadian yang tidak diharapkan lainnya. Semuanya terbentuk dalam kehidupan seseorang sesuai dengan rencana tertentu.

Sejak seseorang membuka matanya, tak ada satu pun yang dialaminya di dunia ini terjadi dengan sendirinya dan terlepas dari Allah. Segala yang ada secara keseluruhan diciptakan oleh Allah, satu-satunya zat yang memegang kendali alam semesta. Ciptaan Allah bersifat sempurna, tanpa cacat, dan sarat dengan tujuan. Ini adalah takdir yang diciptakan oleh Allah. Seseorang tidak boleh mengotak-ngotakkan peristiwa yang terjadi dengan menamai kebaikan pada sebuah peristiwa dan kejahatan pada peristiwa yang lain. Apa yang menjadi kewajiban seseorang adalah menyadari dan menghargai kesempurnaan dalam setiap peristiwa. Kita harus percaya bahwa ada kebaikan dalam setiap ketetapan-Nya serta tetap menyadari kenyataan bahwa kebijaksanaan Allah yang tak terbatas ini telah direncanakan untuk sebuah hasil akhir yang paling sempurna. Bahkan mereka yang percaya dan mencari kebaikan dalam segala peristiwa yang menimpa mereka, baik di dunia ini maupun akhirat nanti, mereka akan menjadi bagian dari kebaikan yang abadi.

Hampir di setiap halaman Al-Qur`an, Allah meminta kita untuk memerhatikan hal tersebut. Inilah sebabnya mengapa ketidakmampuan dalam mengingat bahwa segalanya berjalan sesuai dengan takdir itu menjadi sebuah kegagalan yang mengerikan bagi seorang mukmin. Takdir yang dituliskan oleh Allah begitu unik dan dilewati oleh seseorang benar-benar sesuai dengan apa yang telah Allah tetapkan. Orang awam menganggap kepercayaan akan takdir semata-mata hanya merupakan cara untuk “menghibur diri” di saat tertimpa kemalangan. Sebaliknya, seorang mukmin memiliki pemahaman yang benar akan takdir. Ia sepenuhnya menganggap bahwa takdir adalah sebuah rencana Allah yang sempurna yang telah dirancang khusus untuk dirinya.

Takdir adalah rencana tanpa cacat yang dibuat untuk mempersiapkan seseorang untuk sebuah kenikmatan surga. Takdir penuh dengan keberkahan dan maksud Ilahiah. Setiap kesulitan yang dihadapi seorang mukmin di dunia ini akan menjadi sumber kebahagiaan, kesenangan, dan kedamaian yang tak terbatas di kemudian hari.

فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا
“Sesungguhnya, setelah kesulitan itu ada kemudahan.” (al-Insyirah: 5)

Ayat ini menarik kita pada kenyataan bahwa di dalam takdir seseorang, kesabaran dan semangat yang ditunjukkan oleh seorang mukmin, telah dituliskan sebelumnya bersama-sama dengan balasannya masing-masing di akhirat.

Sekali waktu mungkin terjadi dalam jenak kehidupan, seorang mukmin menjadi marah atau khawatir akan terjadinya hal-hal tertentu. Penyebab utama dari kemarahan yang ia rasakan adalah karena ia lupa bahwa semua itu merupakan bagian dari takdirnya dan bahwa takdirnya itu telah diciptakan oleh Allah hanya untuk dirinya sendiri. Walaupun demikian, ia akan merasa nyaman dan tenang ketika ia diingatkan akan tujuan ciptaan Allah.

Karena itulah, seorang mukmin harus belajar untuk terus mengingat bahwa segalanya telah ditetapkan sebelumnya. Ia harus mengingatkan orang lain akan hal ini. Ia harus bersabar saat menghadapi peristiwa-peristiwa yang Allah telah takdirkan untuknya dengan memberikan rasa percayanya kepada Allah dalam jarak waktu yang tak terbatas. Tak lupa, ia harus berusaha menemukan alasan-alasan di balik semua peristiwa tersebut. Jika ia berusaha memahami alasan-alasan ini, dengan seizin Allah, ia akhirnya akan berhasil. Bahkan walaupun ia tidak selalu berhasil menemukan maksud di baliknya, ia masih tetap yakin bahwa ketika sesuatu terjadi, pastilah semua itu demi kebaikan dan maksud tertentu. Memahami sepenuhnya bahwa setiap makhluk, hidup ataupun tidak, diciptakan dalam kepatuhannya pada takdir.

Takdir adalah pengetahuan sempurna Allah atas semua peristiwa di masa lalu dan masa depan, laksana satu waktu saja. Ini menunjukkan kekuasaan mutlak Allah atas semua makhluk dan semua peristiwa. Manusia bisa saja berhati-hati agar tidak mengalami suatu peristiwa yang buruk, tetapi Allah mengetahui semua peristiwa sebelum hal itu terjadi. Bagi Allah, masa lalu dan masa depan adalah satu. Semua itu sama-sama berada dalam pengetahuan Allah karena Dialah yang menciptakannya.

إِنَّا كُلَّ شَىۡءٍ خَلَقۡنَـٰهُ بِقَدَرٍ۬
“Sesungguhnya, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar: 49)

Ayat tersebut menyatakan bahwa segala yang ada di dunia adalah bagian dari takdir. Kebanyakan orang tidak sempat memikirkan takdir. Karena itu, mereka gagal menyadari bahwa hanya kekuatan Allah yang tak terbataslah yang akan eksis di balik keteraturan yang sempurna ini. Sebagian orang menganggap bahwa takdir hanya berlaku pada manusia. Kenyataannya, semua yang ada di alam semesta, mulai dari furnitur di rumah Anda sampai sebuah batu di jalan, rumput kering, buah, atau selai di rak supermarket, semua itu adalah bagian dari takdir yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Allah. Takdir semua benda dan makhluk yang diciptakan telah ditentukan dalam kebijaksanaan Allah yang tak terhingga.

Setiap peristiwa yang dilihat seseorang, setiap suara yang didengarnya, merupakan bagian hidup yang telah diciptakan untuknya sebagai sebuah kesatuan. Tak ada bunga yang mekar dan layu dengan kebetulan. Tak ada manusia yang lahir dan mati secara kebetulan. Tak ada manusia yang sakit tanpa sengaja dan tidaklah penyakitnya itu bertambah tanpa ada yang mengendalikan. Dalam setiap kejadian, peristiwa ini khusus ditakdirkan oleh Allah sejak saat pertama kita diciptakan. Apa pun yang ada di muka bumi, di dalam lautan, atau jatuhnya sehelai daun, semua terjadi dalam rangka memenuhi takdir. Sebagaimana dinyatakan,

وَعِندَهُ ۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَ‌ۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ‌ۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ۬ فِى ظُلُمَـٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٍ۬ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍ۬ مُّبِينٍ۬
“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (al-An’aam: 59)

Rasulullah Muhammad saw. pun bersabda bahwa tindakan setiap orang telah ditakdirkan oleh Allah,
“Allah Yang Mahaagung dan Mahamulia telah menetapkan bagi setiap hamba di antara ciptaan-Nya empat hal: kematiannya, tindakannya, tempat tinggal dan tempat ia berpindah, serta makanannya.” (HR Tirmidzi)

Akan tetapi, biasanya manusia tidak sadar akan kenyataan bahwa setiap detik waktu mereka telah ditakdirkan oleh Allah. Sebagian mereka tidak pernah menyadari bagaimana mereka diciptakan atau bagaimana mereka mendapatkan karunia yang mereka nikmati. Sebagian lainnya menganggap bahwa semua itu hanyalah kebetulan yang tak berarti, walaupun mereka mengetahui bahwa Allahlah yang menciptakan kehidupan dan kematian. Di dalam Al-Qur`an, Allah menyatakan kepada kita bahwa hal-hal kecil pun telah ditakdirkan oleh kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas dan semua itu berkaitan dengan tujuan-tujuan Ilahiah.

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِى ڪِتَـٰبٍ۬ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآ‌ۚ إِنَّ ذَٲلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ۬
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadiid: 22)

Setiap manusia harus memahami kenyataan ini. Hal ini karena takdir bagi segala sesuatu di alam semesta telah diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. Karena itu, setiap hal kecil telah direncanakan oleh Allah dengan sempurna dan memiliki tujuan-tujuan tertentu. Segalanya dibuat dengan teratur sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw.. Orang yang memiliki kesadaran penuh akan kenyataan takdir akan mendapatkan manfaat—dengan perasaan gembiranya—akan setiap jenak waktu dalam kehidupannya, yaitu saat-saat yang baik dan saat-saat yang terlihat buruk. Alasan mengapa hamba-Nya berhasil menyadari hal itu adalah karena Allah telah menciptakan takdir mereka tanpa cacat. Mereka akan mengetahui bahwa menganggap sesuatu sebagai sebuah kemalangan adalah suatu kebodohan. Ini karena sesuatu yang dianggap kemalangan itu memiliki maksud-maksud tertentu dari Allah. Pemahaman yang mendalam tentang takdir membuat mereka mampu melihat keberkahan yang terkandung dalam segala hal.

Menganggap bahwa apa yang terjadi bukanlah karena Allah melainkan karena seseorang atau sesuatu, berarti kita tidak mampu memahami takdir. Segala sesuatu yang kita anggap seharusnya tidak terjadi demikian, pada hakikatnya merupakan “pelajaran takdir”. Manusia harus sepenuh hati menanamkan dalam dirinya bahwa ada kebaikan dan maksud-maksud Ilahiah dalam setiap kejadian. Orang cenderung menganggap peristiwa yang tidak menyenangkan sebagai sebuah “kemalangan”. Bagaimanapun juga, tetap ada kebaikan dan maksud-maksud tertentu dalam apa yang acapkali dianggap sebagai sebuah “kemalangan”. Kejadian tersebut dianggap sebagai “kemalangan” karena kita menilainya demikian. Pada kenyataannya, hal itu adalah sebuah kemungkinan yang lebih baik karena ia adalah sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Allah.

Jika Allah telah menunjukkan kebaikan dan maksud sebuah kejadian yang merugikan, atau sebuah kesulitan yang menekan dan membuat kita gusar, kita akan mengerti betapa tidak berartinya kekecewaan kita. Dengan mengenali berkah dalam segala hal, seorang mukmin akan merasakan kesenangan, bukan tekanan. Karena itulah, kewajibannyalah untuk mencari dan mengidentifikasi kebaikan dan manfaat takdir yang terjadi, yakni bahwa dalam peristiwa yang terjadi tersimpan maksud Allah. Ia akan merasa senang dan menghargai manfaat mengetahui takdir.

Mengetahui bahwa Ada Keburukan dalam Peristiwa yang Tampaknya Baik dan Ada Kebaikan dalam Peristiwa yang Tampaknya Buruk

Dalam catatan sebelum ini, kita diyakinkan bahwa Allah Yang Mahabijaksana menciptakan setiap peristiwa dalam rangka menyempurnakan sebuah rencana. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa hanya Allahlah yang mengetahui peristiwa-peristiwa yang baik dan yang buruk. Ini disebabkan kebijaksanaan Allah tidaklah terbatas, sedangkan pengetahuan manusia terbatas. Manusia hanya bisa melihat tampilan luar suatu peristiwa dan hanya mampu bersandar pada penglihatan yang terbatas dalam menilainya. Informasi dan pemahaman mereka yang tidak mencukupi—dalam beberapa kasus—dapat membuat mereka tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik untuknya, dan mereka bisa saja mencintai sesuatu, padahal itu merupakan sebuah keburukan. Untuk dapat melihat kebaikan itu, seorang mukmin harus menyerahkan rasa percayanya kepada kebijaksanaan Allah yang tak terbatas dan percaya bahwa ada kebaikan dalam segala hal yang terjadi. Allah berfirman,

كُتِبَ عَلَيۡڪُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٌ۬ لَّكُمۡ‌ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـًٔ۬ا وَهُوَ خَيۡرٌ۬ لَّڪُمۡ‌ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡـًٔ۬ا وَهُوَ شَرٌّ۬ لَّكُمۡ‌ۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216)

Di sinilah, Allah mengatakan kepada kita bahwa suatu peristiwa yang dianggap baik oleh seseorang dapat mengakibatkan kekecewaan, baik di dunia ini maupun di akhirat. Begitu juga sesuatu yang ingin benar-benar dihindarkan—karena diyakini merugikan—mungkin dapat menyebabkan kebahagiaan dan kedamaian baginya. Nilai hakiki peristiwa apa pun adalah pengetahuan mutlak Allah. Segala hal, apakah rupa yang buruk ataukah rupawan, ada sesuai kehendak Allah. Kita hanya menjalani apa yang Allah inginkan untuk kita. Allah mengingatkan kita tentang hal ini,

وَإِن يَمۡسَسۡكَ ٱللَّهُ بِضُرٍّ۬ فَلَا ڪَاشِفَ لَهُ ۥۤ إِلَّا هُوَ‌ۖ وَإِن يُرِدۡكَ بِخَيۡرٍ۬ فَلَا رَآدَّ لِفَضۡلِهِۦ‌ۚ يُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ‌ۚ وَهُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)

Maka dari itu, apa pun yang kita alami dalam kehidupan ini, apakah itu terlihat baik ataupun buruk, semuanya adalah baik karena hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kita. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, zat yang menetapkan akibat suatu peristiwa bukanlah seorang manusia yang terbatas oleh ruang dan waktu, melainkan Allah, Zat yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, Yang menciptakan manusia, juga ruang dan waktu.

Sumber : http://warnawarnikata.blogspot.com/2010/07/melihat-kebaikan-di-segala-hal-bagian_2245.html

Bagi Orang Mukmin, Ada Kebaikan dalam Segala Hal

Setiap orang mengalami saat-saat sulit dalam kehidupannya. Kesulitan ini membuat frustasi, stres, atau menjengkelkan kebanyakan orang yang hidupnya jauh dari moralitas yang ditentukan dalam Al-Qur`an. Karena itu, mereka dengan mudah merasa gelisah, tegang, dan marah. Karena mereka tidak memiliki keyakinan akan kesempurnaan yang melekat pada takdir yang ditetapkan oleh Allah, mereka tidak mencari keberkahan atau kebaikan yang ada di dalam peristiwa yang mereka alami. Bahkan, karena mereka tidak memiliki keyakinan, setiap detik yang mereka habiskan tampaknya menjadi berseberangan dengan apa yang mereka inginkan. Dengan demikian, mereka menjalani sisa hidupnya dengan beban masalah dan tekanan.

Seorang mukmin mengetahui bahwa kesulitan-kesulitan diberikan Allah untuk menguji manusia. Mereka tahu bahwa kesulitan tersebut dibuat untuk membedakan antara mereka yang benar-benar beriman dan mereka yang memiliki penyakit di hatinya, yaitu mereka yang tidak tulus dalam meyakini keimanan mereka. Di dalam Al-Qur`an, Allah menjelaskan bahwa Dia akan menguji seorang mukmin untuk melihat siapakah yang benar-benar dalam keimanannya.

أَمۡ حَسِبۡتُمۡ أَن تَدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ وَلَمَّا يَعۡلَمِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ جَـٰهَدُواْ مِنكُمۡ وَيَعۡلَمَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 142)

Lebih lanjut, Allah memberikan contoh kepada umat-Nya dengan mengambil setting di masa kenabian Rasulullah,

وَمَآ أَصَـٰبَكُمۡ يَوۡمَ ٱلۡتَقَى ٱلۡجَمۡعَانِ فَبِإِذۡنِ ٱللَّهِ وَلِيَعۡلَمَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ (١٦٦) وَلِيَعۡلَمَ ٱلَّذِينَ نَافَقُواْ‌ۚ وَقِيلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡاْ قَـٰتِلُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَوِ ٱدۡفَعُواْ‌ۖ قَالُواْ لَوۡ نَعۡلَمُ قِتَالاً۬ لَّٱتَّبَعۡنَـٰكُمۡ‌ۗ هُمۡ لِلۡڪُفۡرِ يَوۡمَٮِٕذٍ أَقۡرَبُ مِنۡہُمۡ لِلۡإِيمَـٰنِ‌ۚ يَقُولُونَ بِأَفۡوَٲهِهِم مَّا لَيۡسَ فِى قُلُوبِہِمۡ‌ۗ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يَكۡتُمُونَ

Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka [kekalahan] itu adalah dengan izin [takdir] Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman. dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah [dirimu]". Mereka berkata: "Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu". Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (Ali-Imran ayat 166-167)

Ayat di atas sudah jelas. Di masa Rasulullah, kaum muslimin menghadapi kesulitan dan ujian penderitaan. Sebagaimana ditunjukkan di dalam ayat di atas, apa yang dijalani oleh kaum muslimin adalah kehendak Allah. Semua itu terjadi untuk melihat manakah orang-orang munafik yang mencoba menjatuhkan orang-orang yang beriman. Demikianlah, pada akhirnya, semua itu menjadi kebaikan bagi kaum mukminin.

Kaum muslim yang mengetahui pelajaran yang dinyatakan dalam ayat ini menganggap sebuah kesempatan dimana keikhlasan, kesetiaan, dan keimanan mereka kepada Tuhannya adalah ujian. Mereka tidak pernah lupa bahwa kesulitan atau keberkahan datang untuk menguji mereka. Karena kemuliaan dan kepatuhan mereka kepada-Nya, Allah mengubah apa yang tampaknya buruk menjadi hal-hal yang menguntungkan bagi hamba-Nya yang sejati.

Sumber : http://warnawarnikata.blogspot.com/2010/07/melihat-kebaikan-di-segala-hal-bagian_1797.html


Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...

Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron

Tidak ada komentar:

Posting Komentar