Minggu, 23 Desember 2012

Nabi Muhammad menikahi Aisyah

BUKTI #1: PENGUJIAN TERHADAP NARASUMBER
Sebagian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadits yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisyam ibnu `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari Bapaknya yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorang pun yang di Madinah menceritakan hal ini, Hisyam ibnu `Urwah tinggal di Madinah sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Madinah termasuk Malik ibnu Anas yang masyhur, tidak menceritakan hal ini. Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisyam tinggal disana dan pindah dari Madinah ke Iraq pada usia tua. Tahzibu at-Tahzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibnu Shaibah mencatat : ”Hisyam sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq” (Tahzibu at-Tahzib, Ibnu Hajar Al-`Asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, h. 50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibnu Anas menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Iraq: ”Saya pernah diberitahu bahwa Malik menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tahzibu at-Tahzib, Ibnu Hajar Al-`Asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, h. 50). Mizanu al-I`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup para periwayat hadist Nabi saw mencatat: ”Ketika masa tua, ingatan Hisyam mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu al-I`tidal, Al-Dzahabi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, h. 301).

KESIMPULAN: berdasarkan referensi ini, ingatan Hisyam sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Siti Aisyah r.a. adalah tidak dapat dipercaya.
KRONOLOGI: Penting untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:
Sebelum 610 M: Jahiliyah (era pra-Islam) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama dan Abu Bakar menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad s.a.w. mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al-Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi s.a.w. meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian Yathrib dinamai Madinah al-Munawwarah
623/624 M: dikatakan Nabi s.a.w. berumah tangga dengan Aisyah

BUKTI #2: MEMINANG
Menurut Thabari (juga menurut Hisyam ibnu `Urwah, Ibnu Hunbal dan Ibnu Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.
Tetapi, di bagian lain, At-Thabari mengatakan: ”Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa Jahiliyah dari 2 isterinya” (Tarikhu al-umam wa al-muluk, At-Thabari, Vol. 4, h. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979). Jika Aisyah dipinang thn 620 M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan At-Thabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613 M, yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyah usai (610 M). Thabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikahi. Intinya: Thabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.
KESIMPULAN: At-Thabari tak dapat dipercaya mengenai umur Aisyah ketika menikah.

BUKTI #3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah
Menurut Ibnu Hajar, ”Fatimah dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah” (Al-isabah fi tamyizi ash-shahabah, Ibnu Hajar al-Asqalani, Vol. 4, h. 377, Maktabatu’l-Riyadh Al-Haditha, Al-Riyadh,1978).
Jika pernyataan Ibnu Hajar faktual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.
KESIMPULAN: Ibnu Hajar, Thabari, Ibnu Hisyam, dan Ibnu Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.

BUKTI #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’
Menurut Abdur Rahman ibnu Abi Zannad: ”Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah” (Siyar Al-a’lam An-nubala’, Al-Dzahabi, Vol. 2, h. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992).
Menurut Ibnu Kathir: ”Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]” (Al-Bidayah wa an-nihayah, Ibnu Kathir, Vol. 8, h. 371, Dar al-fikr al-`arabi, Al-Jizah, 1933).
Menurut Ibnu Kathir: ”Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut riwayat lainnya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa An-nihayah, Ibnu Kathir, Vol. 8, h. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al-Jizah, 1933)
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani: ”Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 atau 74 H.” (Taqribu At-tahdzib, Ibnu Hajar Al-Asqalani, h. 654,Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow).

Menurut banyak ahli sejarah, Asma, saudara tertua dari Aisyah, berselisih usia 10 tahun dengan Aisyah. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun di tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622 M). Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada tahun dimana Aisyah berumah tangga. Berdasarkan Ibnu Hajar, Ibnu Katir, dan Abdur Rahman ibnu Abi Zannad, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun. Dalam bukti # 3, Ibnu Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibnu Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar? 12 atau 18 tahun?
Kesimpulan: Ibnu Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.

BUKTI #5: Perang BADAR dan UHUD
Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam Perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim (Kitabu Al-Jihad wa As-Siyar, Bab Karahiyati Al-Isti`anah fi Al-Ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu momen penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: ”ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu al-jihad wa as-siyar, Bab Ghazwi an-nisa’ wa qitalihinna ma`a ar-Rijal) : ”Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].” Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr. Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu al-Maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b) : ”Ibnu `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpartisipasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”
Berdasarkan riwayat di atas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud

KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

BUKTI #6: Surat Al-Qamar (Bulan)
Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: ”Saya seorang gadis muda (“jariyah” dalam Bahasa Arab) ketika ayat ke-46 dari Surat Al-Qamar diturunkan” (Sahih Bukhari, Kitabu At-Tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu Adha’ wa Amarr).

Surat ke-54 (Al-Qamar) dari Al-Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum Hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. Jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 thn di tahun 623 M atau 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (“sibyah” dalam Bahasa Arab) pada saat Surat Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda (jariyah), bukan bayi yang baru lahir (sibyah) ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah telah menjadi “ariyah” (gadis muda), bukan “sibyah” (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikahi Nabi.
Kesimpulan: riwayat ini juga mengkontraskan riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.

BUKTI #7: Terminologi Bahasa Arab
Menurut riwayat dari Ahmad ibnu Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah r.a., Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: ”Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah. Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata “bikr” dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan di muka, adalah “jariyah”. Di sisi lain, “Bikr” digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam kata Inggris “virgin“.
Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah “gadis” (bikr) (Musnad Ahmad ibnu Hanbal, Vol. 6, h.210, Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).
Kesimpulan: Arti literal dari kata “bikr” (gadis) dalam hadist diatas adalah ”wanita dewasa yang belum punya pengalaman seksual dalam pernikahan.” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu Rasulullah Muhammad s.a.w. menikahinya.

BUKTI #8: Teks Al-Qur’an
Seluruh muslim setuju bahwa Al-Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Al-Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun? Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun para muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak yatim juga valid diaplikasikan pada anak kita sendiri sendiri. Ayat tersebut mengatakan: ”Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS 4:5)
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS 4:6)

Dalam hal seorang anak yang ditinggal orang tuanya, seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka terhadap kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.

Disini, ayat Al-Qur’an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang obyektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka. Dalam ayat yang sangat jelas di atas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, gadis tsb secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibnu Hambal (Musnad Ahmad ibnu Hambal, vol.6, h. 33 dan h. 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar, seorang tokoh muslim, akan mempertunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun dengan Nabi yang berusia 50 tahun. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.

Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan, ”berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah NOL BESAR. Logika kita berkata adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?

Abu Bakar merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Al-Quran.
Kesimpulan: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Al-Quran. Oleh karena itu, cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.

BUKTI #9: Ijin dalam pernikahan
Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, h. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi keabsyahan sebuah pernikahan. Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan. Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakar, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan menanggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun. Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis, yang menurut hadits dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.
Kesimpulan: Rasulullah Muhammad s.a.w. tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan Islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan yaitu: Nabi menikahi Aisyah saat dia seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.

RANGKUMAN:
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 7 tahun. Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah s.a.w. dan Aisyah ketika berusia 7 tahun. Orang-orang Arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan ini, karena hal ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun oleh Hisyam ibnu `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan bertentangan dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisyam ibnu `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibnu Anas, melihat riwayat Hisyam ibnu `Urwah selama di Iraq adalah tidak dapat dipercaya. Pernyataan-pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka saling bertentangan satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami kontradiksi internal dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 7 tahun ketika menikah adalah tidak dapat dipercaya karena adanya kontradiksi2 yang nyata pada catatan klasik dari pakar2 sejarah Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 7 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Bahkan, Al-Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa, sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab orang dewasa.

Sebenarnya Nabi Muhammad s.a.w. menikahi Siti Aisyah r.a. saat beliau berusia 19 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar